MAKALAH LINGKUNGAN PERKEMBANGAN
KATA
PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang
Maha Esa karena limpahan rahmat-Nya, Kami diberi kesehatan, sehingga Kami dapat
menyelesaikan makalah yang menjadi tugas mata kuliah Psikologi Perkembangan.
Makalah yang berjudul “Lingkungan
Perkembangan” merupakan aplikasi dari Kami. Selain untuk memenuhi tugas mata
kuliah tersebut juga untuk memberikan pengetahuan tentang Lingkungan
Perkembangan.
Dalam makalah ini, Kami menyadari masih
jauh dari kesempurnaan, untuk itu segala saran dan kritik guna perbaikan dan
kesempurnaan sangat Kami nantikan.
Kami berharap makalah ini dapat
bermanfaat dan memberi wawasan ataupun menjadi referensi kita dalam mengetahui
dan mempelajari tentang Lingkungan Perkembangan.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat
khususnya bagi penyusun dan para pembaca pada umumnya.
Bumiayu, 20 Desember 2013
BAB I
PENDAHULUAN
Lingkungan
adalah suatu media di mana makhuk hidup tinggal, mencari penghidupannya, dan
memiliki karakter serta fungsi yang khas yang terkait secara timbal balik
dengan keberadaan makhluk hidup yang menempatinya, terutama manusia yang
memiliki peranan yang lebih kompleks.
Kehidupan
manusia tidak bisa dipisahkan dari lingkungannya. Baik lingkungan
alam maupun lingkungan sosial. Kita bernapas memerlukan udara dari lingkungan
sekitar. Kita makan, minum, menjaga kesehatan, semuanya memerlukan lingkungan.
Pengertian lain dari lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar
manusia yang memengaruhi perkembangan kehidupan manusia baik langsung maupun
tidak langsung.
Seringkali
lingkungan yang terdiri dari sesama manusia disebut juga sebagai lingkungan
sosial. Lingkungan sosial inilah yang membentuk sistem pergaulan yang besar
peranannya dalam membentuk kepribadian seseorang.
Perkembangan
setiap individu sangat dipengaruhi oleh lingkungannya. Oleh karena itu, Kami
akan membahas tentang lingkungan perkembangan dan pengaruhnya bagi kehidupan
manusia.
BAB II
PEMBAHASAN
Urie
Bronfrenbrenner & Ann Couter (Sigelman & Shaffer, 1995: 86) mengemukakan
bahwa lingkungan perkembangan merupakan “berbagai peristiwa, situasi atau
kondisi di luar organisme yang diduga mempengaruhi atau dipengaruhi oleh
perkembangan individu“. Lingkungan ini terdiri atas: (a) fisik, yaitu meliputi
segala sesuatu dari molekul yang ada di sekitar janin sebelum lahir sampai
kepada rancangan arsitektur suatu rumah, dan (b) sosial, yaitu meliputi seluruh
manusia yang secara potensial mempengaruhi dan dipengaruhi oleh perkembangan
individu.
Konsep
lama tentang lingkungan perkembangan, memahaminya sebagai seperangkat kekuatan
yang membentuk manusia, karena manusia dipandang seperti seonggok tanah liat
yang dapat dicetak atau dibentuk. Sekarang dipahami bahwa manusia selain
dipengaruhi juga mempengaruhi lingkungan fisik dan sosialnya. Dengan kata lain,
dapat dikemukakan bahwa hubungan antara manusia dengan lingkungan itu bersifat
saling mempengaruhi.
J.P.
Chaplin (1979: 175) mengemukakan bahwa lingkungan merupakan “keseluruhan aspek
atau fenomena fisik dan sosial yang mempengaruhi organisme individu”. Sementara
itu, Joe Kathena (1992: 58) mengemukakan bahwa lingkungan itu merupakan segala
sesuatu yang berada di luar individu yang meliputi fisik dan sosial budaya.
Lingkungan ini merupakan sumber seluruh informasi yang diterima individu
melalui alat inderanya.
Berdasarkan
ketiga pengertian di atas, bahwa yang dimaksud dengan lingkungan perkembangan
siswa adalah “keseluruhan fenomena (peristiwa, situasi, kondisi) fisik atau
sosial yang mempengaruhi atau dipengaruhi perkembangan siswa”. Lingkungan
perkembangan siswa yang akan dibahas yaitu menyangkut lingkungan keluarga,
sekolah, kelompok sebaya, dan masyarakat
1. LINGKUNGAN KELUARGA
A. Pengertian Keluarga
M.I.
Soelaeman (1978: 4-5) mengemukakan pendapat para ahli mengenai pengertian
keluarga yaitu:
1. F.J.
Brown berpendapat bahwa ditinjau dari sudut pandang sosiologis, keluarga dapat
diartikan dua macam, yaitu (a) dalam arti luas, keluarga meliputi semua pihak
yang ada hubungan darah atau keturunan yang dapat dibandingkan dengan “clan”
atau marga, (b) dalam arti sempit, keluarga meliputi orangtua dan anak.
2. Maciver
menyebutkan lima ciri khas keluarga yang umum terdapat di mana-mana yaitu (a)
hubungan berpasangan kedua jenis, (b) perkawinan atau bentuk ikatan lain yang
mengokohkan hubungan tersebut, (c) pengakuan akan keturunan, (d) kehidupan
ekonomis yang diselenggarakan dan dinikmati bersama, (e) kehidupan berumah
tangga.
Sedangkan
Sudardja Adiwikarta (1988: 66-67) dan Sigelman dan Shaffer (1995: 390-391)
berpendapat bahwa “keluarga merupakan unit sosial terkecil yang bersifat
universal, artinya terdapat pada masyarakat di dunia (universe) atau suatu
sistem sosial yang terpancang (terbentuk) dalam sistem sosial yang lebih
besar”. Bentuk atau pola keluarga yaitu (1) keluarga batin/inti, yang terdiri
atas suami/ayah, istri/ibu, dan anak-anak yang lahir dari pernikahan antara
keduanya dan yang belum berkeluarga, (2) keluarga luas, yang anggotanya tidak
hanya meliputi suami/ayah, istri/ibu, dan anak-anak yang belum berkeluarga,
tetapi juga termasuk kerabat lain yang biasanya tinggal dalam sebuah rumah
tangga bersama, seperti mertua, adik-kakak ipar atau lainnya, bahkan mungkin
pembantu rumah tangga atau orang lain yang tinggal menumpang.
Keluarga
merupakan lingkungan pendidikan yang pertama dan utama bagi anak. Pendidikan
keluarga lebih menekankan pada aspek moral atau pembentukan kepribadian dari
pada pendidikan untuk menguasai ilmu pengetahuan.
B. Peranan Dan Fungsi Keluarga
Kelurga
memiliki peranan yang sangat penting dalam upaya mengembangkan pribadi anak.
Perawatan orangtua yang penuh kasih sayang dan pendidikan tentang nilai-nilai
kehidupan, baik agama maupun sosial budaya yang diberikan merupakan faktor yang
kondusif untuk mempersiapkan anak menjadi pribadi dan anggota masyarakat yang
sehat.
Keluarga
juga dipandang sebagai institusi (lembaga) yang dapat memenuhi kebutuhan insani
(manusiawi), terutama kebutuhan bagi pengembangan kepribadiannya dan
pengembangan ras manusia. Apabila mengaitkan peranan keluarga dengan upaya
memenuhi kebutuhan individu dari Maslow, maka keluarga merupakan lembaga
pertama yang dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Melalui perawatan dan perlakuan
yang baik dari orangtua, anak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya, baik
fisik-biologis maupun sosiopsikologisnya. Apabila anak telah memperoleh rasa
aman, penerimaan sosial, dan harga dirinya, maka anak dapat memenuhi kebutuhan
tertingginya, yaitu perwujudan diri.
Keluarga
yang bahagia merupakan suatu hal yang sangat penting bagi perkembangan emosi
para anggotanya (terutama anak). Kebahagiaan ini diperoleh apabila keluarga
dapat memerankan fungsinya secara baik. Fungsi dasar keluarga adalah memberikan
rasa memiliki, rasa aman, kasih sayang, dan mengembangkan hubungan yang bak di
antara anggota keluarga.
Mengkaji
lebih jauh tentang fungsi keluarga ini dapat dikemukakan bahwa secara
psikososiologis keluarga berfungsi sebagai (1) pemberi rasa aman bagi anak dan
anggota keluarga lainnya, (2) sumber pemenuhan kebutuhan, baik fisik maupun
psikis, (3) sumber kasih sayang dan penerimaan, (4) model pola perilaku yang tepat
bagi anak untuk belajar menjadi anggota masyarakat yang baik, (5) pemberi
bimbingan bagi pengembangan perilaku yang secara sosial dianggap tepat, (6)
pembentuk anak dalam memecahkan masalah yang dihadapinya dalam rangka
menyesuaikan dirinya terhadap kehidupan, (7) pemberi bimbingan dalam belajar
keterampilan motorik, verbal dan sosial yang dibutuhkan untuk penyesuaian diri,
(8) stimulator bagi pengembangan kemampuan anak untuk mencapai prestasi baik di
sekolah maupun di masyarakat, (9) pembimbing dalam mengembangkan aspirasi, (10)
sumber persahabatan/teman bermain bagi anak sampai cukup usia untuk mendapatkan
teman di luar rumah, atau apabila persahabatan d luar rumah tidak memungkinkan.
Sedangkan
dari sudut pandang sosiologis, fungsi keluarga ini dapat diklasifikasikan ke
dalam fungsi-fungsi berikut:
1. Fungsi
biologis
Keluarga
dipandang sebagai pranata sosial yang memberikan legalitas, kesempatan dan
kemudahan bagi para anggotanya untuk memenuhi kebutuhan dasar biologisnya, yang
meliputi (a) pangan, sandang, dan papan (b)hubungan seksual suami-istri, (c)
reproduksi atau pengembangan keturunan.
2. Fungsi
ekonomis
Keluarga
(dalam hal ini ayah) mempunyai kewajiban untuk menafkahi anggota keluarganya
(istri dan anak).
3. Fungsi
pendidikan (edukatif)
Keluarga
merupakan lingkungan pendidikan yang utama bagi anak. Keluarga berfungsi
sebagai “transmiter budaya atau mediator sosial budaya bagi anak” (Hurlock,
1956; dan Pervin, 1970). Menurut UU Nomor 2 Tahun 1989 Bab IV Pasal 10 Ayat 4:
“Pendidikan keluarga merupakan bagian dari jalur pendidikan luar sekolah yang
diselenggarakan dalam keluarga dan yang memberikan keyakinan agama, nilai
budaya, nila moral, dan keterampilan”. Berdasarkan UU tersebut maka fungsi
keluarga dalam pendidikan adalah menyangkut penanaman, pembimbingan, atau
pembiasan nilai-nila agama, budaya dan keterampilan-keterampilan tertentu yang
bermanfaat bagi anak.
4. Fungsi
sosialisasi
Keluarga
merupakan buaian atau penyemaian bagi masyarakat masa depan, dan lingkungan
keluarga merupakan faktor penentu yang sangat mempengaruhi kualitas generasi
yang akan datang. Keluarga berfungsi sebagai miniatur masyarakat yang
mensosialisasikan nilai-nilai atau peran-peran hidup dalam masyarakat yang
harus dilaksanakan oleh para anggotanya.
5. Fungsi
perlindungan (protektif)
Keluarga
berfungsi sebagai pelindung bagi para anggota keluarganya dari gangguan,
ancaman atau kondisi yang menimbulkan ketidaknyamanan para anggotanya.
6. Fungsi
rekreatif
Keluarga
harus diciptakan sebagai lingkungan yang memberikan kenyamanan, keceriaan,
kehangatan dan penuh semangat bagi anggotanya.
7. Fungsi
agama (religius)
Keluarga
berfungsi sebagai penanaman nilai-nilai religius kepada anak agar mereka
memiliki pedoman hidup yang benar.
C. Faktor-Faktor Keluarga Yang
Mempengaruhi Perkembangan Anak
1.
Keberfungsian Keluarga
Keluarga yang fungsional (normal)
yaitu keluarga yang telah mampu melaksanakan fungsinya. Di samping itu,
keluarga yang fungsional ditanda oleh karakteristik: (a) saling memperhatikan
dan mencintai, (b) bersikap terbuka dan jujur, (c) orang tua mau mendengarkan
anak, menerima perasaannya dan menghargai pendapatnya, (d) ada “sharing”
masalah atau pendapat di antara anggota keluarga, (e) mampu berjuang mengatasi
masalah hidupnya, (f) saling menyesuaikan diri dan mengakomodasi, (g) orangtua
melindungi dan mengayomi anak, (h) komunikasi antar anggota keluarga
berlangsung dengan baik, (i) keluarga memenuhi kebutuhan psikososial anak dan
mewariskan nilai-nilai budaya, (j) mampu beradaptasi dengan perubahan yang
terjadi.
2.
Pola Hubungan Orangtua dengan Anak
Terdapat beberapa pola sikap atau
perlakuan orangtua terhadap anak yang masing-masing mempunyai pengaruh
tersendiri terhadap kepribadian anak (Hurlock, 1956: 504-512; Schneiders, 1964:
150-156; Lore, 1970: 145). Pola-pola tersebut dapat disimak pada tabel berikut:
POLA
PERLAKUAN ORANGTUA
|
PERILAKU
ORANGTUA
|
PROFIL
TINGKAH LAKU ANAK
|
1.
Overprotection (terlalu melindungi)
|
1. kontak
yang berlebihan dengan anak
2. perawatan/pemberian
bantuan kepada anak yang terus menerus meskipun anak sudah mampu
3. mengawasi
kegiatan anak secara berlebihan
4. memecahkan
masalah anak
|
1) Perasaan
tidak aman
2) Agresif
dan dengki
3) Mudah
merasa gugup
4) Melarikan
diri dari kenyataan
5) Sangat tergantung
6) Ingin
menjadi pusat perhatian
7) Bersikap
menyerah
8) Lemah
dalam “ego strength” (kematangan sosial, integrasi pribadi, otonomi,
bertingkah laku rasional, persepsi diri dan sosial yang akurat, dan keinginan
untuk menyesuaikan diri dengan harapan-harapan masyarakat)
9) Kurang
mampu mengendalikan emosi
10) Menolak
tanggung jawab
11) Kurang
percaya diri
12) Mudah
terpengaruh
13) Peka
terhadap kritik
14) Bersikap
“yes men”
15) Egois/selfish
16) Suka
bertengkar
17) Troublemaker
(pembuat onar)
18) Sulit
dalam bergaul
19) Mengalami
“homesick”
|
2.
Permissiveness (pembolehan)
|
1. memberikan
kebebasan untuk berpikir atau berusaha
2. menerima
gagasan atau pendapat
3. membuat
anak merasa diterima dan merasa kuat
4. toleran
dan memahami kelemahan anak
5. cenderung
lebih suka memberi yang diminta anak daripada menerima
|
1) Pandai
mencari jalan keluar
2) Dapat
bekerjasama
3) Percaya
diri
4) Penuntut
dan tidak sabaran
|
3.
Rejection (penolakan
|
1. bersikap
masa bodoh
2. bersikap
kaku
3. kurang
mempedulikan kesejahteraan anak
4. menampilkan
skap permusuhan atau dominasi terhadap anak
|
1) Agresif
2) Submissive
(kurang dapat mengerjakan tugas, pemalu, suka mengasingkan diri, mudah
tersinggung dan penakut)
3) Sulit
bergaul
4) Pendiam
5) Sadis
|
4.
Acceptance (penerimaan)
|
1. memberikan
perhatian dan cinta kasih yang tulus kepada anak
2. menempatkan
anak dalam posisi yang penting di dalam rumah
3. mengembangkan
hubungan yang hangat dengan anak
4. bersikap
respek terhadap anak
5. mendorong
anak untuk menyatakan perasaannya atau pendapat
6. berkomunikasi
dengan anak secara terbuka dan mau mendengarkan masalahnya
|
1) Mau
bekerjasama
2) Bersahabat
3) Loyal
4) Emosinya
stabil
5) Ceria
dan bersikap optimis
6) Mau
menerima tanggung jawab
7) Jujur
8) Dapat
dipercaya
9) Memiliki
perencanaan yang jelas untuk mencapai masa depan
10) Bersikap
realistik (memahami kekuatan dan kelemahan dirinya secara objektif)
|
5.
Domination (dominasi)
|
Mendominasi
anak
|
1) Bersikap
sopan dan sangat berhati-hati
2) Pemalu,
penurut dan mudah bingung
3) Tidak
dapat bekerjasama
|
6.
Submission (penyerahan)
|
1. senantiasa
memberikan sesuatu yang dminta anak
2. membiarkan
anak berperilaku semaunya di rumah
|
1) Tidak
patuh
2) Tidak
bertanggungjawab
3) Agresif
dan lalai
4) Bersikap
otoriter
5) Terlalu
percaya diri
|
7.
Punitiveness/ overdiscipline (terlalu disiplin)
|
1. mudah
memberikan hukuman
2. menanamkan
kedisiplinan secara keras
|
1) Impulsif
2) Tidak
dapat mengambil keputusan
3) Nakal
4) Sikap
bermusuhan atau agresif
|
3.
Kelas Sosial dan Ekonomi
Maccoby & McLoyd (Sigelman &
Shaffer, 1995: 396-397) membandingkan orangtua kelas menengah dan atas dengan
kelas bawah atau pekerja. Hasilnya menunjukkan bahwa orangtua kelas bawah atau
pekerja cenderung (a) sangat menekan kepatuhan dan respek terhadap otoritas, (b)
lebih restriktif atau keras dan otoriter, (c) kurang memberikan alasan kepada
anak, (d) kurang bersikap hangat dan memberikan kasih sayang kepada anak.
Pikunas (1976: 72) mengemukakan
pendapat Becker, Deutsch, Kohn dan Sheldon, tentang kaitan antara kelas sosial
dengan cara atau teknik orangtua dalam mengatur (mengelola/memperlakukan) anak,
yaitu bahwa:
a) Kelas
bawah (lower class): cenderung lebih keras dalam “toilet training” dan lebih
sering menggunakan hukuman fisik, dibandngkan dengan kelas menengah. Anak-anak
dari kelas bawah cenderung lebih agresif, independen, dan lebih awal dalam
pengalaman seksual.
b) Kelas
menengah (middle class): cenderung lebih memberikan pengawasan dan perhatiannya
sebagai orangtua. Para ibunya merasa bertanggungjawab terhadap tingkah laku
anak-anaknya, dan menerapkan kontrol yang lebih halus. Mereka mempunya ambisi
untuk meraih status yang lebih tinggi, dan menekan anak untuk mengejar
statusnya melalui pendidikan atau latihan profesional.
c) Kelas
atas (upper class): cenderung lebih memanfaatkan waktu luangnya dengan
kegiatan-kegiatan tertentu, lebih memiliki latar belakang pendidikan yang
reputasinya tinggi, dan biasanya senang mengembangkan apresiasi estetikanya.
Anak-anak cenderung memiliki rasa percaya diri dan cenderung bersikap memanipulasi
aspek realitas.
Adapun
pengaruh status ekonomi terhadap kepribadian anak adalah bahwa orangtua dari
yang mempunyai otoritas. Kelas menengah dan atas cenderung menekankan pada
pengembangan inisiatif, keingintahuan, dan kreativitas anak.
Rand
Conger (Sigelman & Shaffer, 1995: 397) dan perkumpulannya mengemukakan
bahwa orangtua yang mengalami tekanan ekonomi atau perasaan tidak mampu
mengatasi masalah finansialnya cenderung menjadi depresi dan mengalami konflik
keluarga yang akhirnya mempengaruhi perkembangan remaja, seperti kurang harga
diri, prestasi belajar rendah, kurang dapat bergaul dengan teman, mengalami
masalah penyesuaian diri (karena depresi dan agresi). Secara visual, penjelasan
tersebut dapat disimak pada bagan berikut:
2. LINGKUNGAN SEKOLAH
Sekolah
merupakan lembaga pendidikan formal yang secara sistematis melaksanakan program
bimbingan, pengajaran dan latihan dalam rangka membantu siswa agar mampu
mengembangkan potensinya.
Mengenai
peranan sekolah dalam mengembangkan kepribadian anak, Hurlock (1968: 322)
mengemukakakn bahwa sekolah merupakan faktor penentu bagi perkembangan
kepribadian anak (siswa). Sekolah berperan sebagai substitusi keluarga, dan
guru substitusi orangtua. Ada beberapa alasan mengapa sekolah memainkan peranan
yang berarti bagi kepribadian anak, yaitu (a) para siswa harus hadir di
sekolah, (b) sekolah memberikan pengaruh kepada anak secara dini, seiring
dengan perkembangan “konsep diri”-nya, (c) anak banyak menghabiskan waktunya di
sekolah daripada di tempat lain di luar rumah, (d) sekolah memberikan
kesempatan kepada anak untuk merah sukses, (e) sekolah memberi kesempatan
pertama kepada anak untuk menilai dirinya dan kemampuannya secara realistik.
Menurut
Havighurts (1961: 5), sekolah mempunyai peranan atau tanggung jawab penting
dalam membantu siswa mencapai tugas perkembangannya. Sehubungan dengan hal itu,
sekolah seyogianya berupaya menciptakan iklim yang kondusif atau kondisi yang
dapat memfasilitasi siswa untuk mencapai tugas perkembangannya.
Upaya
sekolah dalam memfasilitasi tugas-tugas perkembangan siswa akan berjalan dengan
baik apabila di sekolah tersebut telah tercipta iklim atau atmosfir yang sehat
atau efektif.
3. LINGKUNGAN KELOMPOK TEMAN SEBAYA
Kelompok
teman sebaya sebagai lingkungan sosial bagi para anak mempunyai peranan yang
cukup penting bagi perkembangan kepribadiannya. Aspek kepribadian remaja yang
berkembang secara menonjol dalam pengalamannya bergaul dengan teman sebaya
antara lain:
a) Sosial
Cognition: kemampuan untuk memikirkan tentang pikiran, perasaan, motif dan
tingkah laku dirinya dan orang lain. Kemampuannya memahami orang lain,
memungkinkan remaja untuk lebih mampu menjalin hubungan sosial yang lebih baik
dengan teman sebayanya. Mereka telah mampu melihat bahwa orang itu sebagai
individu yang unik, dengan perasaan, nilai-nilai, minat, dan sifat-sifat kepribadian
yang beragam. Kemampuan ini berpengaruh kuat terhadap minatnya untuk bergaul
atau membentuk persahabatan dengan teman sebayanya (Sigelman & Shaffer,
1995: 372-376)
b) Konformitas:
motif untuk menjadi sama, sesuai, seragam, dengan nilai-nilai, kebiasaan, kegemaran
(hobi), atau budaya teman sebayanya. Berdasarkan survey nasional terhadap
remaja di Amerika, ditemukan bahwa remaja memiliki kecenderungan yang kuat
untuk menjadi populer dan konformitas (Conger, 1983: 328-329)
Peranan
kelompok teman sebaya bagi anak adalah memberikan kesempatan untuk belajar
tentang: (1) bagaimana berinteraksi dengan orang lain, (2) mengontrol tingkah
laku sosial, (3) mengembangkan keterampilan dan minat yang relevan dengan
seusianya, (4) saling bertukar perasaan dan masalah.
Peter
dan Anna Freud mengemukakan bahwa kelompok teman sebaya telah memberikan
kesempatan yang penting untuk memperbaki bencana kerusakan psikologis selama
masa anak, dan dapat mengembangkan hubungan baru yang lebih bak antara satu
sama lainnya.
Kelompok
teman sebaya yang suasananya hangat, menarik, dan tidak eksploitatif dapat
membantu anak untuk memperoleh pemahaman tentang: (1) konsep diri, masalah dan
tujuan yang lebih jelas, (2) perasaan berharga, (3) perasaan optimis tentang
masa depan.
Peran
lainnya adalah membantu anak untuk memahami identitas diri (jati diri) sebagai
suatu hal yang sangat penting sebab tidak ada kesadaran lainnya yang kesadaran
identitas dirinya itu mudah berubah (tidak stabil).
Di
sisi lain, tidak sedikit remaja yang berperilaku menyimpang karena pengaruh
teman sebayanya. Keadaan ini seperti terungkap dari hasil-hasil penelitian
berikut:
1. Healy
dan Browner menemukan bahwa 67% dari 3000 anak nakal di Choicago ternyata
karena mendapat pengaruh dari teman sebayanya.
2. Glueck
& Glueck menemukan bahwa 98,4% dari anak-anak nakal adalah akibat pengaruh
nakal anak lainnya, dan hanya 74% saja dari anak yang tidak nakal berkawan
dengan yang nakal (M. Arifin, 1978: 131)
Pengaruh
kelompok teman sebaya terhadap anak itu ternyata berkaitan dengan iklim keluarga
anak itu sendiri. Anak yang memiliki hubungan yang baik dengan orangtuanya
(iklim keluarga sehat) cenderung dapat menghindarkan diri dari pengaruh negatif
teman sebayanya, dibandingkan dengan anak yang hubungan dengan orangtuanya
tidak baik. Judit Brook dan koleganya menemukan bahwa hubungan orang tua dan
anak yang sehat dapat melindungi anak tersebut dari pengaruh teman sebaya yang
tidak sehat (Sigelman & Shaffer, 1995: 380)
4. LINGKUNGAN MASYARAKAT
Masyarakat
merupakan lingkungan alami kedua yang dikenal anak-anak. Anak remaja telah
banyak mengenal karakteristik masyarakat dengan berbagai norma dan
keragamannya. Kondisi masyarakat amat beragam, tentu banyak hal yang harus
diperhatikan dan diikuti oleh anggota masyarakat, dan dengan demikian para
remaja perlu memahami hal itu. Tidak jarang para remaja berbeda pandangan
dengan para orang tua, sehingga norma dan perilaku remaja dianggap tidak sesuai
dengan norma masyarakat yang sedang berlaku. Hal ini tentu saja akan berdampak
pada pembentukan pribadi remaja. Perbedaab ini dapat mendorong para remaja
untuk membentuk kelompok-kelompok sebaya yang memiliki kesamaan pandangan.
Di
balik itu di dalam masyarakat terdapat tokoh-tokoh yang memiliki pengaruh kuat
terhadap pola hidup masyarakatnya. Namunhal itu terkadang tidak mampu
mempengaruhi kehidupan remaja, akibatnya para remaja kadang-kadang melakukan
tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan ketentuan masyarakat, atau para
remaja dengan sengaja menghindar dari aturan dan ketentuan masyarakat.
Dalam
menjalankan fungsi pendidikan masyarakat banyak membentuk/mendirikan
kelompok-kelompok atau paguyuban-paguyuban atau kursus-kursus yang secara
sengaja diediakan untuk anak remaja dalam upaya mempersiapkan hidupnya
dikemudian hari. Kursus-kursus yang dimaksud pada umumnya berorientasi kepada
dunia kerja. Namun, banyak kelompok kegiatan atau kursus-kursus yang dibangun
masyarakat tersebut kurang menarik remaja, oleh para remaja apa yang disediakan
itu dinilainya tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Kondisi semacam ini
banyak merangsang berpikir remaja, yang responnya belum tentu positif. Banyak
kelompok yang membayangkan masa depannya suram, dan mereka membentuk kelompok
yang diberi nama madesu.
BAB III
PENUTUP
lingkungan perkembangan
siswa adalah “keseluruhan fenomena (peristiwa, situasi, kondisi) fisik atau
sosial yang mempengaruhi atau dipengaruhi perkembangan siswa”. Lingkungan
perkembangan siswa yang akan dibahas yaitu menyangkut lingkungan keluarga,
sekolah, kelompok sebaya, dan masyarakat
DAFTAR PUSTAKA
1. Dahlan,
M.Djawad. 2011. Psikologi Perkembangan
Anak & Remaja. Bandung: Remaja Rosdakarya
2. Hartinah,
Siti. 2008. Pengembangan Peserta Didik.
Tegal: Refika Aditama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar