Minggu, 19 Januari 2014

MAKALAH LINGKUNGAN PERKEMBANGAN


MAKALAH LINGKUNGAN PERKEMBANGAN

KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena limpahan rahmat-Nya, Kami diberi kesehatan, sehingga Kami dapat menyelesaikan makalah yang menjadi tugas mata kuliah Psikologi Perkembangan.
Makalah yang berjudul “Lingkungan Perkembangan” merupakan aplikasi dari Kami. Selain untuk memenuhi tugas mata kuliah tersebut juga untuk memberikan pengetahuan tentang Lingkungan Perkembangan.
Dalam makalah ini, Kami menyadari masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu segala saran dan kritik guna perbaikan dan kesempurnaan sangat Kami nantikan.
Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat dan memberi wawasan ataupun menjadi referensi kita dalam mengetahui dan mempelajari tentang Lingkungan Perkembangan.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi penyusun dan para pembaca pada umumnya.






Bumiayu, 20 Desember 2013





BAB I
PENDAHULUAN

Lingkungan adalah suatu media di mana makhuk hidup tinggal, mencari penghidupannya, dan memiliki karakter serta fungsi yang khas yang terkait secara timbal balik dengan keberadaan makhluk hidup yang menempatinya, terutama manusia yang memiliki peranan yang lebih kompleks.
Kehidupan manusia tidak bisa dipisahkan dari lingkungannya. Baik lingkungan alam maupun lingkungan sosial. Kita bernapas memerlukan udara dari lingkungan sekitar. Kita makan, minum, menjaga kesehatan, semuanya memerlukan lingkungan. Pengertian lain dari lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar manusia yang memengaruhi perkembangan kehidupan manusia baik langsung maupun tidak langsung.
Seringkali lingkungan yang terdiri dari sesama manusia disebut juga sebagai lingkungan sosial. Lingkungan sosial inilah yang membentuk sistem pergaulan yang besar peranannya dalam membentuk kepribadian seseorang.
Perkembangan setiap individu sangat dipengaruhi oleh lingkungannya. Oleh karena itu, Kami akan membahas tentang lingkungan perkembangan dan pengaruhnya bagi kehidupan manusia.









BAB II
PEMBAHASAN

Urie Bronfrenbrenner & Ann Couter (Sigelman & Shaffer, 1995: 86) mengemukakan bahwa lingkungan perkembangan merupakan “berbagai peristiwa, situasi atau kondisi di luar organisme yang diduga mempengaruhi atau dipengaruhi oleh perkembangan individu“. Lingkungan ini terdiri atas: (a) fisik, yaitu meliputi segala sesuatu dari molekul yang ada di sekitar janin sebelum lahir sampai kepada rancangan arsitektur suatu rumah, dan (b) sosial, yaitu meliputi seluruh manusia yang secara potensial mempengaruhi dan dipengaruhi oleh perkembangan individu.
Konsep lama tentang lingkungan perkembangan, memahaminya sebagai seperangkat kekuatan yang membentuk manusia, karena manusia dipandang seperti seonggok tanah liat yang dapat dicetak atau dibentuk. Sekarang dipahami bahwa manusia selain dipengaruhi juga mempengaruhi lingkungan fisik dan sosialnya. Dengan kata lain, dapat dikemukakan bahwa hubungan antara manusia dengan lingkungan itu bersifat saling mempengaruhi.
J.P. Chaplin (1979: 175) mengemukakan bahwa lingkungan merupakan “keseluruhan aspek atau fenomena fisik dan sosial yang mempengaruhi organisme individu”. Sementara itu, Joe Kathena (1992: 58) mengemukakan bahwa lingkungan itu merupakan segala sesuatu yang berada di luar individu yang meliputi fisik dan sosial budaya. Lingkungan ini merupakan sumber seluruh informasi yang diterima individu melalui alat inderanya.
Berdasarkan ketiga pengertian di atas, bahwa yang dimaksud dengan lingkungan perkembangan siswa adalah “keseluruhan fenomena (peristiwa, situasi, kondisi) fisik atau sosial yang mempengaruhi atau dipengaruhi perkembangan siswa”. Lingkungan perkembangan siswa yang akan dibahas yaitu menyangkut lingkungan keluarga, sekolah, kelompok sebaya, dan masyarakat
1. LINGKUNGAN KELUARGA
A. Pengertian Keluarga
M.I. Soelaeman (1978: 4-5) mengemukakan pendapat para ahli mengenai pengertian keluarga yaitu:
1.      F.J. Brown berpendapat bahwa ditinjau dari sudut pandang sosiologis, keluarga dapat diartikan dua macam, yaitu (a) dalam arti luas, keluarga meliputi semua pihak yang ada hubungan darah atau keturunan yang dapat dibandingkan dengan “clan” atau marga, (b) dalam arti sempit, keluarga meliputi orangtua dan anak.
2.      Maciver menyebutkan lima ciri khas keluarga yang umum terdapat di mana-mana yaitu (a) hubungan berpasangan kedua jenis, (b) perkawinan atau bentuk ikatan lain yang mengokohkan hubungan tersebut, (c) pengakuan akan keturunan, (d) kehidupan ekonomis yang diselenggarakan dan dinikmati bersama, (e) kehidupan berumah tangga.
Sedangkan Sudardja Adiwikarta (1988: 66-67) dan Sigelman dan Shaffer (1995: 390-391) berpendapat bahwa “keluarga merupakan unit sosial terkecil yang bersifat universal, artinya terdapat pada masyarakat di dunia (universe) atau suatu sistem sosial yang terpancang (terbentuk) dalam sistem sosial yang lebih besar”. Bentuk atau pola keluarga yaitu (1) keluarga batin/inti, yang terdiri atas suami/ayah, istri/ibu, dan anak-anak yang lahir dari pernikahan antara keduanya dan yang belum berkeluarga, (2) keluarga luas, yang anggotanya tidak hanya meliputi suami/ayah, istri/ibu, dan anak-anak yang belum berkeluarga, tetapi juga termasuk kerabat lain yang biasanya tinggal dalam sebuah rumah tangga bersama, seperti mertua, adik-kakak ipar atau lainnya, bahkan mungkin pembantu rumah tangga atau orang lain yang tinggal menumpang.
Keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama dan utama bagi anak. Pendidikan keluarga lebih menekankan pada aspek moral atau pembentukan kepribadian dari pada pendidikan untuk menguasai ilmu pengetahuan.
B. Peranan Dan Fungsi Keluarga
Kelurga memiliki peranan yang sangat penting dalam upaya mengembangkan pribadi anak. Perawatan orangtua yang penuh kasih sayang dan pendidikan tentang nilai-nilai kehidupan, baik agama maupun sosial budaya yang diberikan merupakan faktor yang kondusif untuk mempersiapkan anak menjadi pribadi dan anggota masyarakat yang sehat.
Keluarga juga dipandang sebagai institusi (lembaga) yang dapat memenuhi kebutuhan insani (manusiawi), terutama kebutuhan bagi pengembangan kepribadiannya dan pengembangan ras manusia. Apabila mengaitkan peranan keluarga dengan upaya memenuhi kebutuhan individu dari Maslow, maka keluarga merupakan lembaga pertama yang dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Melalui perawatan dan perlakuan yang baik dari orangtua, anak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya, baik fisik-biologis maupun sosiopsikologisnya. Apabila anak telah memperoleh rasa aman, penerimaan sosial, dan harga dirinya, maka anak dapat memenuhi kebutuhan tertingginya, yaitu perwujudan diri.
Keluarga yang bahagia merupakan suatu hal yang sangat penting bagi perkembangan emosi para anggotanya (terutama anak). Kebahagiaan ini diperoleh apabila keluarga dapat memerankan fungsinya secara baik. Fungsi dasar keluarga adalah memberikan rasa memiliki, rasa aman, kasih sayang, dan mengembangkan hubungan yang bak di antara anggota keluarga.
Mengkaji lebih jauh tentang fungsi keluarga ini dapat dikemukakan bahwa secara psikososiologis keluarga berfungsi sebagai (1) pemberi rasa aman bagi anak dan anggota keluarga lainnya, (2) sumber pemenuhan kebutuhan, baik fisik maupun psikis, (3) sumber kasih sayang dan penerimaan, (4) model pola perilaku yang tepat bagi anak untuk belajar menjadi anggota masyarakat yang baik, (5) pemberi bimbingan bagi pengembangan perilaku yang secara sosial dianggap tepat, (6) pembentuk anak dalam memecahkan masalah yang dihadapinya dalam rangka menyesuaikan dirinya terhadap kehidupan, (7) pemberi bimbingan dalam belajar keterampilan motorik, verbal dan sosial yang dibutuhkan untuk penyesuaian diri, (8) stimulator bagi pengembangan kemampuan anak untuk mencapai prestasi baik di sekolah maupun di masyarakat, (9) pembimbing dalam mengembangkan aspirasi, (10) sumber persahabatan/teman bermain bagi anak sampai cukup usia untuk mendapatkan teman di luar rumah, atau apabila persahabatan d luar rumah tidak memungkinkan.
Sedangkan dari sudut pandang sosiologis, fungsi keluarga ini dapat diklasifikasikan ke dalam fungsi-fungsi berikut:
1.      Fungsi biologis
Keluarga dipandang sebagai pranata sosial yang memberikan legalitas, kesempatan dan kemudahan bagi para anggotanya untuk memenuhi kebutuhan dasar biologisnya, yang meliputi (a) pangan, sandang, dan papan (b)hubungan seksual suami-istri, (c) reproduksi atau pengembangan keturunan.
2.      Fungsi ekonomis
Keluarga (dalam hal ini ayah) mempunyai kewajiban untuk menafkahi anggota keluarganya (istri dan anak).
3.      Fungsi pendidikan (edukatif)
Keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang utama bagi anak. Keluarga berfungsi sebagai “transmiter budaya atau mediator sosial budaya bagi anak” (Hurlock, 1956; dan Pervin, 1970). Menurut UU Nomor 2 Tahun 1989 Bab IV Pasal 10 Ayat 4: “Pendidikan keluarga merupakan bagian dari jalur pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan dalam keluarga dan yang memberikan keyakinan agama, nilai budaya, nila moral, dan keterampilan”. Berdasarkan UU tersebut maka fungsi keluarga dalam pendidikan adalah menyangkut penanaman, pembimbingan, atau pembiasan nilai-nila agama, budaya dan keterampilan-keterampilan tertentu yang bermanfaat bagi anak.
4.      Fungsi sosialisasi
Keluarga merupakan buaian atau penyemaian bagi masyarakat masa depan, dan lingkungan keluarga merupakan faktor penentu yang sangat mempengaruhi kualitas generasi yang akan datang. Keluarga berfungsi sebagai miniatur masyarakat yang mensosialisasikan nilai-nilai atau peran-peran hidup dalam masyarakat yang harus dilaksanakan oleh para anggotanya.
5.      Fungsi perlindungan (protektif)
Keluarga berfungsi sebagai pelindung bagi para anggota keluarganya dari gangguan, ancaman atau kondisi yang menimbulkan ketidaknyamanan para anggotanya.
6.      Fungsi rekreatif
Keluarga harus diciptakan sebagai lingkungan yang memberikan kenyamanan, keceriaan, kehangatan dan penuh semangat bagi anggotanya.
7.      Fungsi agama (religius)
Keluarga berfungsi sebagai penanaman nilai-nilai religius kepada anak agar mereka memiliki pedoman hidup yang benar.
C. Faktor-Faktor Keluarga Yang Mempengaruhi Perkembangan Anak
1. Keberfungsian Keluarga
            Keluarga yang fungsional (normal) yaitu keluarga yang telah mampu melaksanakan fungsinya. Di samping itu, keluarga yang fungsional ditanda oleh karakteristik: (a) saling memperhatikan dan mencintai, (b) bersikap terbuka dan jujur, (c) orang tua mau mendengarkan anak, menerima perasaannya dan menghargai pendapatnya, (d) ada “sharing” masalah atau pendapat di antara anggota keluarga, (e) mampu berjuang mengatasi masalah hidupnya, (f) saling menyesuaikan diri dan mengakomodasi, (g) orangtua melindungi dan mengayomi anak, (h) komunikasi antar anggota keluarga berlangsung dengan baik, (i) keluarga memenuhi kebutuhan psikososial anak dan mewariskan nilai-nilai budaya, (j) mampu beradaptasi dengan perubahan yang terjadi.
2. Pola Hubungan Orangtua dengan Anak
            Terdapat beberapa pola sikap atau perlakuan orangtua terhadap anak yang masing-masing mempunyai pengaruh tersendiri terhadap kepribadian anak (Hurlock, 1956: 504-512; Schneiders, 1964: 150-156; Lore, 1970: 145). Pola-pola tersebut dapat disimak pada tabel berikut:
POLA PERLAKUAN ORANGTUA
PERILAKU ORANGTUA
PROFIL TINGKAH LAKU ANAK
1. Overprotection (terlalu melindungi)
1.   kontak yang berlebihan dengan anak
2.   perawatan/pemberian bantuan kepada anak yang terus menerus meskipun anak sudah mampu
3.   mengawasi kegiatan anak secara berlebihan
4.   memecahkan masalah anak
1)      Perasaan tidak aman
2)      Agresif dan dengki
3)      Mudah merasa gugup
4)      Melarikan diri dari kenyataan
5)      Sangat  tergantung
6)      Ingin menjadi pusat perhatian
7)      Bersikap menyerah
8)      Lemah dalam “ego strength” (kematangan sosial, integrasi pribadi, otonomi, bertingkah laku rasional, persepsi diri dan sosial yang akurat, dan keinginan untuk menyesuaikan diri dengan harapan-harapan masyarakat)
9)      Kurang mampu mengendalikan emosi
10)  Menolak tanggung jawab
11)  Kurang percaya diri
12)  Mudah terpengaruh
13)  Peka terhadap kritik
14)  Bersikap “yes men”
15)  Egois/selfish
16)  Suka bertengkar
17)  Troublemaker (pembuat onar)
18)  Sulit dalam bergaul
19)  Mengalami “homesick”
2. Permissiveness (pembolehan)
1.   memberikan kebebasan untuk berpikir atau berusaha
2.   menerima gagasan atau pendapat
3.   membuat anak merasa diterima dan merasa kuat
4.   toleran dan memahami kelemahan anak
5.   cenderung lebih suka memberi yang diminta anak daripada menerima
1)      Pandai mencari jalan keluar
2)      Dapat bekerjasama
3)      Percaya diri
4)      Penuntut dan tidak sabaran
3. Rejection (penolakan
1.   bersikap masa bodoh
2.   bersikap kaku
3.   kurang mempedulikan kesejahteraan anak
4.   menampilkan skap permusuhan atau dominasi terhadap anak
1)      Agresif
2)      Submissive (kurang dapat mengerjakan tugas, pemalu, suka mengasingkan diri, mudah tersinggung dan penakut)
3)      Sulit bergaul
4)      Pendiam
5)      Sadis
4. Acceptance (penerimaan)
1.   memberikan perhatian dan cinta kasih yang tulus kepada anak
2.   menempatkan anak dalam posisi yang penting di dalam rumah
3.   mengembangkan hubungan yang hangat dengan anak
4.   bersikap respek terhadap anak
5.   mendorong anak untuk menyatakan perasaannya atau pendapat
6.   berkomunikasi dengan anak secara terbuka dan mau mendengarkan masalahnya
1)      Mau bekerjasama
2)      Bersahabat
3)      Loyal
4)      Emosinya stabil
5)      Ceria dan bersikap optimis
6)      Mau menerima tanggung jawab
7)      Jujur
8)      Dapat dipercaya
9)      Memiliki perencanaan yang jelas untuk mencapai masa depan
10)  Bersikap realistik (memahami kekuatan dan kelemahan dirinya secara objektif)
5. Domination (dominasi)
Mendominasi anak
1)      Bersikap sopan dan sangat berhati-hati
2)      Pemalu, penurut dan mudah bingung
3)      Tidak dapat bekerjasama
6. Submission (penyerahan)
1.   senantiasa memberikan sesuatu yang dminta anak
2.   membiarkan anak berperilaku semaunya di rumah
1)      Tidak patuh
2)      Tidak bertanggungjawab
3)      Agresif dan lalai
4)      Bersikap otoriter
5)      Terlalu percaya diri
7. Punitiveness/ overdiscipline (terlalu disiplin)
1.   mudah memberikan hukuman
2.   menanamkan kedisiplinan secara keras
1)      Impulsif
2)      Tidak dapat mengambil keputusan
3)      Nakal
4)      Sikap bermusuhan atau agresif

3. Kelas Sosial dan Ekonomi
            Maccoby & McLoyd (Sigelman & Shaffer, 1995: 396-397) membandingkan orangtua kelas menengah dan atas dengan kelas bawah atau pekerja. Hasilnya menunjukkan bahwa orangtua kelas bawah atau pekerja cenderung (a) sangat menekan kepatuhan dan respek terhadap otoritas, (b) lebih restriktif atau keras dan otoriter, (c) kurang memberikan alasan kepada anak, (d) kurang bersikap hangat dan memberikan kasih sayang kepada anak.
            Pikunas (1976: 72) mengemukakan pendapat Becker, Deutsch, Kohn dan Sheldon, tentang kaitan antara kelas sosial dengan cara atau teknik orangtua dalam mengatur (mengelola/memperlakukan) anak, yaitu bahwa:
a)      Kelas bawah (lower class): cenderung lebih keras dalam “toilet training” dan lebih sering menggunakan hukuman fisik, dibandngkan dengan kelas menengah. Anak-anak dari kelas bawah cenderung lebih agresif, independen, dan lebih awal dalam pengalaman seksual.
b)      Kelas menengah (middle class): cenderung lebih memberikan pengawasan dan perhatiannya sebagai orangtua. Para ibunya merasa bertanggungjawab terhadap tingkah laku anak-anaknya, dan menerapkan kontrol yang lebih halus. Mereka mempunya ambisi untuk meraih status yang lebih tinggi, dan menekan anak untuk mengejar statusnya melalui pendidikan atau latihan profesional.
c)      Kelas atas (upper class): cenderung lebih memanfaatkan waktu luangnya dengan kegiatan-kegiatan tertentu, lebih memiliki latar belakang pendidikan yang reputasinya tinggi, dan biasanya senang mengembangkan apresiasi estetikanya. Anak-anak cenderung memiliki rasa percaya diri dan cenderung bersikap memanipulasi aspek realitas.
Adapun pengaruh status ekonomi terhadap kepribadian anak adalah bahwa orangtua dari yang mempunyai otoritas. Kelas menengah dan atas cenderung menekankan pada pengembangan inisiatif, keingintahuan, dan kreativitas anak.
Rand Conger (Sigelman & Shaffer, 1995: 397) dan perkumpulannya mengemukakan bahwa orangtua yang mengalami tekanan ekonomi atau perasaan tidak mampu mengatasi masalah finansialnya cenderung menjadi depresi dan mengalami konflik keluarga yang akhirnya mempengaruhi perkembangan remaja, seperti kurang harga diri, prestasi belajar rendah, kurang dapat bergaul dengan teman, mengalami masalah penyesuaian diri (karena depresi dan agresi). Secara visual, penjelasan tersebut dapat disimak pada bagan berikut:

 

 

















2. LINGKUNGAN SEKOLAH
Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang secara sistematis melaksanakan program bimbingan, pengajaran dan latihan dalam rangka membantu siswa agar mampu mengembangkan potensinya.
Mengenai peranan sekolah dalam mengembangkan kepribadian anak, Hurlock (1968: 322) mengemukakakn bahwa sekolah merupakan faktor penentu bagi perkembangan kepribadian anak (siswa). Sekolah berperan sebagai substitusi keluarga, dan guru substitusi orangtua. Ada beberapa alasan mengapa sekolah memainkan peranan yang berarti bagi kepribadian anak, yaitu (a) para siswa harus hadir di sekolah, (b) sekolah memberikan pengaruh kepada anak secara dini, seiring dengan perkembangan “konsep diri”-nya, (c) anak banyak menghabiskan waktunya di sekolah daripada di tempat lain di luar rumah, (d) sekolah memberikan kesempatan kepada anak untuk merah sukses, (e) sekolah memberi kesempatan pertama kepada anak untuk menilai dirinya dan kemampuannya secara realistik.
Menurut Havighurts (1961: 5), sekolah mempunyai peranan atau tanggung jawab penting dalam membantu siswa mencapai tugas perkembangannya. Sehubungan dengan hal itu, sekolah seyogianya berupaya menciptakan iklim yang kondusif atau kondisi yang dapat memfasilitasi siswa untuk mencapai tugas perkembangannya.
Upaya sekolah dalam memfasilitasi tugas-tugas perkembangan siswa akan berjalan dengan baik apabila di sekolah tersebut telah tercipta iklim atau atmosfir yang sehat atau efektif.
3. LINGKUNGAN KELOMPOK TEMAN SEBAYA
Kelompok teman sebaya sebagai lingkungan sosial bagi para anak mempunyai peranan yang cukup penting bagi perkembangan kepribadiannya. Aspek kepribadian remaja yang berkembang secara menonjol dalam pengalamannya bergaul dengan teman sebaya antara lain:
a)      Sosial Cognition: kemampuan untuk memikirkan tentang pikiran, perasaan, motif dan tingkah laku dirinya dan orang lain. Kemampuannya memahami orang lain, memungkinkan remaja untuk lebih mampu menjalin hubungan sosial yang lebih baik dengan teman sebayanya. Mereka telah mampu melihat bahwa orang itu sebagai individu yang unik, dengan perasaan, nilai-nilai, minat, dan sifat-sifat kepribadian yang beragam. Kemampuan ini berpengaruh kuat terhadap minatnya untuk bergaul atau membentuk persahabatan dengan teman sebayanya (Sigelman & Shaffer, 1995: 372-376)
b)      Konformitas: motif untuk menjadi sama, sesuai, seragam, dengan nilai-nilai, kebiasaan, kegemaran (hobi), atau budaya teman sebayanya. Berdasarkan survey nasional terhadap remaja di Amerika, ditemukan bahwa remaja memiliki kecenderungan yang kuat untuk menjadi populer dan konformitas (Conger, 1983: 328-329)
Peranan kelompok teman sebaya bagi anak adalah memberikan kesempatan untuk belajar tentang: (1) bagaimana berinteraksi dengan orang lain, (2) mengontrol tingkah laku sosial, (3) mengembangkan keterampilan dan minat yang relevan dengan seusianya, (4) saling bertukar perasaan dan masalah.
Peter dan Anna Freud mengemukakan bahwa kelompok teman sebaya telah memberikan kesempatan yang penting untuk memperbaki bencana kerusakan psikologis selama masa anak, dan dapat mengembangkan hubungan baru yang lebih bak antara satu sama lainnya.
Kelompok teman sebaya yang suasananya hangat, menarik, dan tidak eksploitatif dapat membantu anak untuk memperoleh pemahaman tentang: (1) konsep diri, masalah dan tujuan yang lebih jelas, (2) perasaan berharga, (3) perasaan optimis tentang masa depan.
Peran lainnya adalah membantu anak untuk memahami identitas diri (jati diri) sebagai suatu hal yang sangat penting sebab tidak ada kesadaran lainnya yang kesadaran identitas dirinya itu mudah berubah (tidak stabil).
Di sisi lain, tidak sedikit remaja yang berperilaku menyimpang karena pengaruh teman sebayanya. Keadaan ini seperti terungkap dari hasil-hasil penelitian berikut:
1.      Healy dan Browner menemukan bahwa 67% dari 3000 anak nakal di Choicago ternyata karena mendapat pengaruh dari teman sebayanya.
2.      Glueck & Glueck menemukan bahwa 98,4% dari anak-anak nakal adalah akibat pengaruh nakal anak lainnya, dan hanya 74% saja dari anak yang tidak nakal berkawan dengan yang nakal (M. Arifin, 1978: 131)
Pengaruh kelompok teman sebaya terhadap anak itu ternyata berkaitan dengan iklim keluarga anak itu sendiri. Anak yang memiliki hubungan yang baik dengan orangtuanya (iklim keluarga sehat) cenderung dapat menghindarkan diri dari pengaruh negatif teman sebayanya, dibandingkan dengan anak yang hubungan dengan orangtuanya tidak baik. Judit Brook dan koleganya menemukan bahwa hubungan orang tua dan anak yang sehat dapat melindungi anak tersebut dari pengaruh teman sebaya yang tidak sehat (Sigelman & Shaffer, 1995: 380)
4. LINGKUNGAN MASYARAKAT
Masyarakat merupakan lingkungan alami kedua yang dikenal anak-anak. Anak remaja telah banyak mengenal karakteristik masyarakat dengan berbagai norma dan keragamannya. Kondisi masyarakat amat beragam, tentu banyak hal yang harus diperhatikan dan diikuti oleh anggota masyarakat, dan dengan demikian para remaja perlu memahami hal itu. Tidak jarang para remaja berbeda pandangan dengan para orang tua, sehingga norma dan perilaku remaja dianggap tidak sesuai dengan norma masyarakat yang sedang berlaku. Hal ini tentu saja akan berdampak pada pembentukan pribadi remaja. Perbedaab ini dapat mendorong para remaja untuk membentuk kelompok-kelompok sebaya yang memiliki kesamaan pandangan.
Di balik itu di dalam masyarakat terdapat tokoh-tokoh yang memiliki pengaruh kuat terhadap pola hidup masyarakatnya. Namunhal itu terkadang tidak mampu mempengaruhi kehidupan remaja, akibatnya para remaja kadang-kadang melakukan tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan ketentuan masyarakat, atau para remaja dengan sengaja menghindar dari aturan dan ketentuan masyarakat.
Dalam menjalankan fungsi pendidikan masyarakat banyak membentuk/mendirikan kelompok-kelompok atau paguyuban-paguyuban atau kursus-kursus yang secara sengaja diediakan untuk anak remaja dalam upaya mempersiapkan hidupnya dikemudian hari. Kursus-kursus yang dimaksud pada umumnya berorientasi kepada dunia kerja. Namun, banyak kelompok kegiatan atau kursus-kursus yang dibangun masyarakat tersebut kurang menarik remaja, oleh para remaja apa yang disediakan itu dinilainya tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Kondisi semacam ini banyak merangsang berpikir remaja, yang responnya belum tentu positif. Banyak kelompok yang membayangkan masa depannya suram, dan mereka membentuk kelompok yang diberi nama madesu.



BAB III
PENUTUP

 lingkungan perkembangan siswa adalah “keseluruhan fenomena (peristiwa, situasi, kondisi) fisik atau sosial yang mempengaruhi atau dipengaruhi perkembangan siswa”. Lingkungan perkembangan siswa yang akan dibahas yaitu menyangkut lingkungan keluarga, sekolah, kelompok sebaya, dan masyarakat



















DAFTAR PUSTAKA

1.      Dahlan, M.Djawad. 2011. Psikologi Perkembangan Anak & Remaja. Bandung: Remaja Rosdakarya
2.      Hartinah, Siti. 2008. Pengembangan Peserta Didik. Tegal: Refika Aditama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar